Bimbingan adalah proses pemberian bantuan (process of
helping) kepada individu agar mampu memahami dan menerima diri dan
lingkungannya, mengarahkan diri, dan menyesuaikan diri secara positif dan
konstruktif terhadap tuntutan norma kehidupan ( agama dan budaya) sehingga
mencapai kehidupan yang bermakna (berbahagia, baik secara personal maupun
sosial), sedangkan konseling adalah proses interaksi antara konselor dengan
klien/konselee baik secara langsung (tatap muka) atau tidak langsung (melalui
media : internet, atau telepon) dalam rangka membantu klien agar dapat
mengembangkan potensi dirinya atau memecahkan masalah yang dialaminya (Slameto,
2010).
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mengharuskan
sekolah untuk mengalokasikan 2 (dua) jam pelajaran per minggu bagi pelajaran
pengembangan diri. Hal ini berati di setiap sekolah paling tidak harus
dialokasikan 2 jam pelajaran bagi guru Bimbingan Konseling untuk mengadakan
bimbingan secara klasikal. Namun dalam praktiknya, beberapa sekolah bahkan
meniadakan jam khusus untuk layanan bimbingan klasikal kepada siswa. Layanan
bimbingan klasikal biasanya dilakukan apabila ada guru yang berhalangan hadir
dan jam pelajaran ini dimanfaatkan bagi guru Bimbingan Konseling untuk mengadakan
layanan bimbingan kelompok/klasikal.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa manajemen sekolah belum
memberikan tempat yang memadai bagi layanan bimbingan di sekolah. Beberapa hal
yang diduga menyadi penyebab atau melatar belakangi kebijakan sekolah tersebut
antara lain: (Fajar Santohadi, 2006)
- Sekolah
masih menfokuskan pada pengembangan kompetensi akademis atau kognitif
saja. Apalagi dengan adanya Ujian Nasional, maka siswa-siswa di tingkat
akhir lebih difokuskan untuk mata pelajaran yang di-Ujian Nasional-kan.
- Penentu
kebijakan (manajemen sekolah) memahami Bimbingan Konseling hanya sebagai
pertemuan individual saja (konseling) terutama untuk mengatasi
persoalan-persoalan yang dihadapi oleh siswa (fungsi kuratif).
- Tidak
adanya program Bimbingan Konseling yang berkualitas yang sesuai dengan
kebutuhan membuat siswa, pengelola sekolah dan stakeholder sulit
memberikan kepercayaan pada Bimbingan Konseling. Pengelola atau guru
bimbingan konseling selama ini masih menganggap bahwa program bimbingan
konseling merupakan daftar aktifitas yang mengacu pada pola 17 tetapi
tidak menonjolkan isi yang akan digarap untuk mengembangkan aspek afektif,
nilai, sikap dan prilaku positif siswa.Padahal pola 17 yang sering menjadi
program konselur itu hanya merupakan ‘bungkus’ bukan isi.
Kebijakan meniadakan jam bimbingan kelompok/klasikal ini
mengakibatkan fungsi pengembangan kemampuan siswa, fungsi pencegahan dan fungsi
pemeliharaan bimbingan dan konseling dalam aspek perkembangan personal
edukasional dan karir tidak dapat dijalankan secara utuh. Ketidak mengertian
dan prasangka manajemen sekolah bahwa bimbingan dan konseling hanya
membuang-buang waktu dan tidak memberikan sumbangan yang berarti pada
perkembangan siswa menyebabkan sulitnya mendapatkan dukungan sekolah terdadap
program bimbingan dan konseling.
Menurut Akhmad Sudrajat (2008) bahwa dimasa
mendatang Bimbingan dan Konseling di Indonesia tidak lagi bersandar pada Konsep
Pola 17 yang selama ini digunakan dalam praktik bimbingan dan
konseling di sekolah, tetapi justru akan lebih mengembangkan model bimbingan
dan konseling yang komprehensif dan berorientasi pada perkembangan, yang
didalamnya terdiri dari empat komponen utama program bimbingan dan konseling,
yaitu :
- Layanan
Dasar; yakni layanan bantuan kepada peserta
didik melalui kegiatan-kegiatan kelas atau di luar kelas, yang disajikan
secara sistematis, dalam rangka membantu peserta didik untuk dapat
mengembangkan potensi dirinya secara optimal. Tujuan layanan ini adalah
untuk membantu peserta didik agar memperoleh perkembangan yang normal,
memiliki mental yang sehat, memperoleh keterampilan hidup, yang dapat
dilakukan melalui strategi layanan klasikal dan strategi layanan kelompok.
- Layanan
Responsif; yaitu layanan bantuan bagi peserta
yang memiliki kebutuhan atau masalah yang memerlukan bantuan dengan
segera”. Tujuan layanan ini adalah membantu peserta didik agar dapat
mengatasi masalah yang dialaminya yang dapat dilakukan melalui strategi
layanan konsultasi, konseling individual, konseling kelompok, referal dan
bimbingan teman sebaya.
- Layanan
Perencanaan Individual; yaitu bantuan kepada peserta didik agar mampu membuat dan
melaksanakan perencanaan masa depannya, berdasarkan pemahaman akan
kekuatan dan kelemahannya. Tujuan layanan ini adalah agar peserta didik
dapat memiliki kemampuan untuk merumuskan tujuan, merencanakan, atau
mengelola pengembangan dirinya, baik menyangkut aspek pribadi, sosial,
belajar, maupun karier, dapat melakukan kegiatan atau aktivitas
berdasarkan tujuan atau perencanaan yang telah ditetapkan, dan mengevaluasi
kegiatan yang dilakukannya, yang dapat dilakukan melalui strategi
penilaian individual, penasihatan individual atau kelompok.
- Layanan
dukungan sistem; yaitu kegiatan-kegiatan manajemen yang bertujuan memantapkan,
memelihara, dan meningkatkan program bimbingan dan konseling di sekolah
secara menyeluruh melalui pengembangan profesional; hubungan masyarakat
dan staf; konsultasi dengan guru lain, staf ahli, dan masyarakat yang
lebih luas; manajemen program; dan penelitian dan pengembangan.
Perubahan paradigma dalam memberikan layanan bimbingan dan
konseling dari waktu ke waktu menunjukkan bahwa profesi bimbingan dan konseling
bersifat dinamis. Dinamika di dalam melaksanakan tugas merupakan manifestasi
kompetensi dan profesionalisme dari seorang konselor. Kemampuan mensiasati dan
memilih stetegi yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan perkembangan akan
menjadi amunisi yang ampuh untuk mampu menghadapi berbagai dinamika dan
perubahan yang dihadapi. Untuk itu, pemahaman mengenai beberapa peran guru
bimbingan dan konseling (konselor) perlu diperhatikan dengan baik.
Barruth dan Robinson dalam Muhammda Nur Wangid
(2009) menjelaskan beberapa peran yang lazim dilakukan oleh seorang
konselor:
- 1.
Konselor sebagai seorang konselor
Pemaknaan konseling sebagai suatu layanan bagi siapapun
juga yang mencari bantuan dari seseorang yang terlatih secara
professional (konselor), dan layanan yang diberikan bisa secara individu atau
kelompok dengan cara mengarahkan konseli untuk memahami dan menghadapi situasi
kehidupan nyata sehingga bisa membuat suatu keputusan berdasarkan pemahaman
tersebut untuk kebahagiaan hidupnya adalah peranan kunci bagi konselor
professional di semua seting layanan. Fokus konseling dalam pengertian
tradisional ini bermakna membantu individu atau sekelompok individu untuk (a)
mencapai tujuan-tujuan intrapersonal dan interpersonal, (b) mengatasi
kekurangan-kekurangan pribadi dan kesulitan-kesulitan perkembangan, (c)
membuat keputusan, dan membuat perencanaan untuk perubahan dan perkembangan, (d)
meningkatkan kesehatan fisik maupun mental dan kebahagian mencapai kebahagiaan
secara kolektif. Peran tersebut mengimplikasikan perlunya keahlian dalam
pertumbuhan dan perkembangan manusia, ketrampilan interpersonal, ketrampilan
pembuatan keputusan dan pemecahaman masalah, ketrampilan social, intervensi
krisis perkembangan, orientasi teoritis untuk membantu. Untuk itu fungsi yang
dilakukan antara lain melakukan wawancara, penilaian, evaluasi, diagnosis.
- 2.
Konselor sebagai seorang konsultan
Konselor yang efektif akan membangun atau memiliki
jalinan kerja sama dengan berbagai pihak demi kepentingan konseli, sehingga
peran yang dilakukan tidak hanya terbatas pada “konselor sebagai konselor”
saja. Apalagi dalam masa keterbukaan sekarang ini peran “konselor sebagai konsultan”
menjadi tuntutan yang harus dipenuhi. Konselor diharapkan dapat bekerja sama
dengan berbagai pihak lain yang dapat mempengaruhi diri konseli seperti kepala
sekolah, orang tua, guru, dan sebagainya yang mempengaruhi kehidupan konseli.
- 3.
Konselor sebagai agen perubahan
Peran yang hampir serupa dengan peran sebagai konsultan
adalah peran sebagai agen perubahan. Peran sebagai agen perbahan bermakna bahwa
keseluruhan lingkungan dari konseli harus dapat berfungsi sehingga dapat
mempengaruhi kesehatan mental menjadi lebih baik, dan konselor dapat
mempengunakan lingkungan tersebut untuk memperkuat atau mempertinggi
berfungsinya konseli. Dalam hubungan ini maka perlu keahlian pemahaman
tentang sistem lingkungan dan sosial, dan mengembangkan ketrampilan tersebut
untuk merencanakan dan menerapkan perubahan dalam lembaga, masyarakat, atau
sistem. Fungsi yang berkaitan dengan peran ini antara lain analisis
sistem, testing dan evaluasi, perencaaan program, perlindungan konseli (client
advocacy), networking, dan sebagainya.
- 4.
Konselor sebagai seorang agen pencegahan utama
Peranan yang ditekankan di sini adalah sebagai agen untuk
mencegah perkembangan yang salah dan atau mengulang kembali kesulitan.
Penekanan dilakukan terutama dengan memberikan strategi dan pelatihan
pendidikan sebagai cara untuk memperoleh atau meningkatkan ketrampilan
interpersonal. Untuk itu konselor perlu antara lain pemahaman dan keahlian
tentang dinamika kelompok, normal human development, psikologi
belajar, teknologi pembelajaran dan sebagainya. Fungsi konselor dalam hal ini
misalnya keterlibatan konselor dalam merancang kurikulum.
- 5.
Konselor sebagai manajer
Konselor selalu memiliki sisi peran selaku administrator.
Sehubungan dengan itu konselor harus sanggup menangani berbagai segi program
pelayanan yang memiliki ragam variasi pengharapan dan peran seperti telah
dikemukakan di atas. Untuk itu perlu keahlian dalam perencanaan program,
penilaian kebutuhan, strategi evaluasi program, penetapan tujuan,
pembiayaan, dan pembuatan keputusan. Oleh karena itu beberapa fungsi konselor
yang terkait dengan hal tersebut adalah menjadwalkan kegiatan, melakukan
testing, penelitian, melakukan penilaian kebutuhan, sampai dengan menata file
data.
Berbagai peran yang ditanggung atau disandang seorang
konselor dapat menjadi sesuatu yang berakibat konstruktif atau sebaliknya
negatif. Berakibat negatif jika peran yang seharusnya dilakukan oleh
konselor dipandang sebagai beban, sehingga justru menurunkan kinerja dan
penghargaan dari pihak lain. Bermakna konstruktif apabila konselor dapat
melaksanakan peran-peran tersebut secara tepat sesuai dengan kebutuhan dan
konteks sehingga menjadikan kinerjanya semakin efektif baik dalam arti
prestasi sesuai keinginan (artinya antara keinginan awal dengan hasil yang
diperoleh sesuai) ataupun dalam persepsi pihak lain. Dari perspektif ini
berarti kemampuan konselor untuk mengatur perannya menjadi sangat penting.
Program bimbingan dan konseling yang komprehensif
membutuhkan kebijakan di sekolah yang integratif yaitu adanya keselarasan
antara kebijakan dalam bidang pengajaran, bimbingan, kegiatan ekstra kurikuler,
kebijakan keuangan, sarana dan prasarana, personalian dan lain lain. Program
bmbingan dan konseling yang komprehensif membutuhkan dukungan manajemen sekolah
yang adil dan setara sehingga sekolah memberikan perhatian yang memadai dan
setara terhadap semua unsur yang penting bagi jalanya proses pendidikan.
Dukungan finansial yang memadai, fasilitas yang memadai dan pemberian waktu
yang memadai untuk bimbingan, pengajaran dan kegiatan pendidikan lain di
sekolah adalah bukti kebijakan yang integratif di sebuah lembaga pendidikan.
0 Comments
Bagaimana Pendapat Anda ?